Rabu, 23 Mei 2012

cerpenku;)


Berbuka di Surga



            Sang surya seakan tertawa dengan pongahnya. Melihat manusia berlomba-lomba mencari keteduhan. Sinarnya nanar membentang seluruh alam raya. Daun-daun pohon meranggas kehausan Sedikit angin melambai menyapu debu menyesakkan dada. Tanah sawah retak-retak kering kerontang tak berisi mata air penyubir padi. Mentari serasa di ubun-ubun membakar raga. Bumi menua meninggalkan isinya yang tersisa. Oh, tak terbayangkan gerahnya hari ini.

            Gadis kecil itu berlari-lari kecil menyusuri trotoar jalan raya. Raut wajahnya menampakkan kegembiraan. Kulitnya menghitam tersengat mentari metropolitan. Tangannya membawa sebuah bungkusan plastik kecil. Ia berbelok di sebuah tikungan kecil dan menuju pemukiman penduduk. Tanah gersang dan jalan sempit. Hampir tak ada jeda antara rumah satu dengan yang lain. Hanya papan-papan bekas yang menjadi dindingnya. Gadis itu terus berlari-lari melewati gang-gang kecil. Ia sudah hafal jalan mana yang harus dilewati. Ia tiba di sebuah rumah. Mesli sebenarnya tak layak lagi di huni.
            “Kak Aufa!” seorang anak laki-laki terlonjak kegirangan.
            “Rizky, lihat apa yang kak Aufa bawa,” seru gadis kecil bernama Aufa sambil memperlihatkan bungkusan plastic kecil yang ia bawa kepada adiknya, Rizky.
            “Asyik, kita makan hari ini. Wah makanan enak ini kak. Emmm sedaap, “ kata Rizky benar-benar menikmati makanannya.
            “Iya. Makanan ini tadi kakak beli di warung pinggir jalan raya. Jadi kita tidak makan makanan sisa restoran seperti kemarin. Oh ya, Rizky berdoa dulu sebelum makan. Kita harus bersyukur bisa makan yang halal dan bersih hari ini,” tutur Aufa menasehati adiknya. Rizky segera berdoa. Kedua anak itu makan dengan lahap sekali tak ada sisa sedikit pun . Sungguh suatu kebahagiaan luar biasa bagi mereka karena bias makan, walaupun itu haya sesuap. Namun, kenapa di rumah bak istana-istana kerajaan makanan-makanan itu di buang sia-sia?.
            “Tadi dapat uang banyak ya kak?” Tanya Rizky sambil duduk-duduk seusai makan.
            “Alhamdulillah lari dari mobil ke mobil tidak percuma. Hari ini kita mendapatkan rizki lumayan. Sisa uangnya kita tabung untuk berjaga-jaga. Kamu jangan banyak jajan ya, kita harus hemat, “ kata Aufa sambil menyimpan uangnya.
            “Iya kak, aku tidak akan banyak jajan,” ucap Rizky memperhatikan kakaknya.
            “Sudah sana mandi dulu, nanti kedinginan,” suruh Aufa kepada adiknya.
            “Ok kak Aufa.” kata Rizky sambil berlari ke belakang rumah
            “Jangan lupa diisi lagi baknya,”
            “Iya, “

Petang telah tiba menyambut malam penuh cita. Sebatang lilin dinyalakan menerangi istana gubug Aufa dan Rizky. Kerlap-kerlip lampu menghiasi pelangi malam ibukota yang tak pernah terlelap. Mobil-mobil berjejer rapi di pusat keramaian. Serba indah dan mewah. Namun akankah itu abadi?. Di istana gubug terlelap dua bocah kecil. Berharap bunga-bunga tidur menghampirinya dan menyambut hari esok dengan langkah ringan. Hingga tak terasa beban yang ditanggung pundak. Tak ada keheningan, hanyalah kebisingan musik penghantar tidur mereka.

###

            “Aufa, bagaimana menurutmu ulangan Matematika tadi sulit tidak?” tanya Ririn ketika Aufa membaca buku di mejanya.
            “Menurutku sih sedikit sulit, tetapi aku yakin bisa mengerjakannya,” jawab Aufa dengan mantap.
            “Pasti nanti kamu lagi yang akan mendapat nilai sempurna. Siapa sih yang tidak tahu Aufa. Anak pandai yang selalu juara kelas,” kata Ririn sambil tersenyum melihat Aufa yang tersipu malu.
            “Sudahlah Rin, tidak usah dibahas,” ucapm Aufa mengalihkan pembicaraan.
            “Iya-iya. Eh Fa, aku boleh minta tolong sama kamu nggak?”
            “Boleh. Memangnya mau minta tolong apa?”
            “Ehm mau nggak jadi guru privat Matematikaku?. Soalnya guru privat pilihan mamaku nggak asyik. Kalau sama kamu kan enak bisa main-main sekalian. Hehehe. Mau ya Fa,” kata Ririn merajuk.
            “Gimana ya Rin. Jangan jadi guru privatlah kita beljar kelompok aja. Aku belum mempunyai cukup materi untuk menjadi guru privat,” jawab Aufa.
            “Ok Aufa temanku yang paling baik, bagaimana kalau kita mulai pulang sekolah nanti?” tanya Ririn dengan gembira
            “kalau nanti aku tidak bias. Aku harus segera pulang ke rumah,“ jawab Aufa. Terbayang wajah ibunya yang sudah tua. Kerutan-kerutan wajahnya yang semakin bertambah dan batuk-batuk yang tak kunjung reda.
            “Baiklah, nggak apa-apa kok,” kata Ririn.
Meski kesenjangan status sosial diantara Aufa dan Ririn sangat jauh, namun mereka tetap berteman dengan baik. Ririn tahu bagaimana keadaan keluarga Aufa. Oleh karena itu, ia selalu memberi motivasi kepada Aufa bahwa Aufa pasti bisa sekolah sampai tinggi dan meraih segala cita-citanya. Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan.
           
            Bel akhir pelajaran berbunyi. Aufa segera membereskan buku-bukunya. Setelah berdoa dan bersalaman dengan gurunya, ia cepat-cepat meninggalkan sekolahnya. Rata-rata siswa yang bersekolah di SD Harapan Bangsa orang tuanya adalah golongan menengah ke atas. Jadi banyak diantara teman-teman Aufa yang dijemput dengan mobil. Namun, Aufa tidak memperdulikan itu. Ia tidak mau berkecil hati. Karena segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

            Gadis kecil kelas IV SD itu lari dengan tergesa-gesa. Akhirnya ia sampai di depan sebuah rumah kecil tetapi bersih. Di sana terlihat banyak kerumunan orang. Entah apa yang terjadi. Hati Aufa dag dig dug. Langkahnya terasa semakin berat.”Apa yang terjadi?” hati Aufa bertanya-tanya. Aufa mulai mendekati rumahnya. Kemudian ia bertanya pada salah seorang diantara tetangganya.
            “Bulek Inah apa yang terjadi di rumah saya?” tanya Aufa ingin tahu.
            “Aufa yang sabar ya nak. Mungkin Allah telah merencanakan sesuatu yang indah setelah ini,” jawab Bulek Inah sambil mengelus rambut Aufa. Ia tidak tega melihat bocah kecil yang begitu polo situ menanggung derita yang begitu berat.
            “Maksud Bulek?” Aufa kembali bertanya. Namun, belum sampai bulek Inah menjawab, Ia segera menghambur masuk ke dalam rumah. Menerobos orang-orang yang bberdiri di sana. Raganya lunglai setelah mengetahui apa yang terjadi. Ia segera memeluk ibunya yang terbujur tak bernyawa. Di samping tubuh ibunya Rizky menangis tersedu-sedu. Tangis Aufa meledak-ledak. Ia semakin erat memeluk ibunya dan tidak mau berpisah dengan orang yang paling dicintai. Hatinya remuk berkeping-keping. Linangan air mata basah kecil yang lugu itu membuat orang-orang di sana iba. Tak ada kerabat karena memang Aufa tidak mempunyai saudara yang dekat. Yang ada hanya tetangganya yang menjadi saudaranya. Aufa terlalu kecil untuk merasakan semua itu.
            Awan kelambu senja telah menghantarkan ibu Aufa menuju ke tempat yang tenang. Di samping gundukan tanah, Aufa duduk memandangnya. Buih-buih air mata masih mengalir dari pelupuk matanya. Bersama adiknya ia termenung menghadapi kenyataan yang ada. Kini ia menjadi yatin piatu. Ayahnya telah meninggal karena kecelakaan ketika ibunya mengandung Rizky. Jiwa Aufa seperti teriris-iris merasakannya. Ia memeluk adiknya yang sedari tadi menagis. Mereka berlalu dari selimut kesedihan.

###

            Lampu merah menyala. Kendaraan-kendaraan mewah itu berhenti. Bocah-bocah berlari berhamburan menuju kendaraan-kendaraan itu. Mendekati mobil ke mobil dan berebut masuk ke dalam bus. Mereka melantunkan syair-syair yang tidak jelas sambil memainkan botol untuk mengiringinya. Menengadahkan tangan kepada yang mereka anggap sebagai jutawan-jutawan negeri untuk mendapatkan belas kasihan demi sesuap nasi. Meski anak-anak terlantar, mereka tidak mendapatkan pemeliharaan yang sepantasnya. Badan yang bercucur peluh tak di hiraukan. Harusnya mereka duduk di bangku yang menghatarkan mereka sebagai pemimpin bangsa.
            Seorang gadis kecil berada di antara bocah-bocah itu. Tubuhnya terlihat kurus. Ia berlari-lari tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tak ada jalan lain yang harus ia lakukan. Setelah rumahnya di sita, untuk melunasi hutang, akhirnya Aufa pindah di pemukiman kumuh dan putus sekolah karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Anak itu sangat pandai, namun kini menjadi peminta di lampu merah. Ketika ia duduk menanti lampu merah, ia selalu teringat pesan ibunya. “Aufa, selagi tangan kita masih mampu meraba dan kaki masih mampu berjalan maka lakukanlah yang sanggup kamu lakukan. Kecuali membuka telapak tangan di depan sesama manusia. Namun, bukalah telapak tanganmu kepadaNya yang memberi rizki. Hati Aufa bergetar mengingatnya. Ia telah melanggar pesan ibunya. Mutiara itu selalu mengalir menemani Aufa. Angannya menerawang ketika ia duduk memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan. Nilai-nilai sempurna yang selalu ia dapatkan apabila ulangan. Ririn temanya yang sangat baik. Aufa ingin sekali bertemu denganya.
            “Dapat berapa kamu Fa hari ini?” tanya salah satu seorang temanya yang menyadarkaan lamunan Aufa.
            “Eh kamu Lia. Hari ini aku dapat Rp.30.000, Alhamdulillah cukup untuk membeli makan,” jawab Aufa sambil menghitung uangnya.
            “Kamu kenapa sih Fa aku lihat sering melamun?”
            “Tidak apa-apa kok Lia,” jawab Aufa singkat.
            “Kalau kamu ada masalah, cerita saja sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu kamu,” kata Lia dengan lembut. Ia mengingatkan Aufa kembali kepada Ririn. Pertemanannya tulus.
            “Iya. Makasih ya Lia. Kamu adalah teman yang baik,” ucap Aufa sambil tersenyum.

Kedua gadis kecil itu memandang bangunan-bangunan bertingkat yang menjulang seakan menembus langit. Apa yang sedang orang-orang lakukan di sana?. Maukah sejenak memikirkan mereka?. Isilah saku-saku mereka demi negeri tercinta jangan hanya mengisi saku sendiri.  

To be continued............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar