Berbuka di Surga
Sang
surya seakan tertawa dengan pongahnya. Melihat manusia berlomba-lomba mencari
keteduhan. Sinarnya nanar membentang seluruh alam raya. Daun-daun pohon
meranggas kehausan Sedikit angin melambai menyapu debu menyesakkan dada. Tanah
sawah retak-retak kering kerontang tak berisi mata air penyubir padi. Mentari
serasa di ubun-ubun membakar raga. Bumi menua meninggalkan isinya yang tersisa.
Oh, tak terbayangkan gerahnya hari ini.
Gadis
kecil itu berlari-lari kecil menyusuri trotoar jalan raya. Raut wajahnya
menampakkan kegembiraan. Kulitnya menghitam tersengat mentari metropolitan.
Tangannya membawa sebuah bungkusan plastik kecil. Ia berbelok di sebuah
tikungan kecil dan menuju pemukiman penduduk. Tanah gersang dan jalan sempit.
Hampir tak ada jeda antara rumah satu dengan yang lain. Hanya papan-papan bekas
yang menjadi dindingnya. Gadis itu terus berlari-lari melewati gang-gang kecil.
Ia sudah hafal jalan mana yang harus dilewati. Ia tiba di sebuah rumah. Mesli sebenarnya
tak layak lagi di huni.
“Kak
Aufa!” seorang anak laki-laki terlonjak kegirangan.
“Rizky,
lihat apa yang kak Aufa bawa,” seru gadis kecil bernama Aufa sambil
memperlihatkan bungkusan plastic kecil yang ia bawa kepada adiknya, Rizky.
“Asyik,
kita makan hari ini. Wah makanan enak ini kak. Emmm sedaap, “ kata Rizky
benar-benar menikmati makanannya.
“Iya.
Makanan ini tadi kakak beli di warung pinggir jalan raya. Jadi kita tidak makan
makanan sisa restoran seperti kemarin. Oh ya, Rizky berdoa dulu sebelum makan.
Kita harus bersyukur bisa makan yang halal dan bersih hari ini,” tutur Aufa
menasehati adiknya. Rizky segera berdoa. Kedua anak itu makan dengan lahap
sekali tak ada sisa sedikit pun . Sungguh suatu kebahagiaan luar biasa bagi
mereka karena bias makan, walaupun itu haya sesuap. Namun, kenapa di rumah bak
istana-istana kerajaan makanan-makanan itu di buang sia-sia?.
“Tadi
dapat uang banyak ya kak?” Tanya Rizky sambil duduk-duduk seusai makan.
“Alhamdulillah
lari dari mobil ke mobil tidak percuma. Hari ini kita mendapatkan rizki
lumayan. Sisa uangnya kita tabung untuk berjaga-jaga. Kamu jangan banyak jajan
ya, kita harus hemat, “ kata Aufa sambil menyimpan uangnya.
“Iya
kak, aku tidak akan banyak jajan,” ucap Rizky memperhatikan kakaknya.
“Sudah
sana mandi dulu, nanti kedinginan,”
suruh Aufa kepada adiknya.
“Ok
kak Aufa.” kata Rizky sambil berlari ke belakang rumah
“Jangan
lupa diisi lagi baknya,”
“Iya,
“
Petang telah tiba menyambut malam
penuh cita. Sebatang lilin dinyalakan menerangi istana gubug Aufa dan Rizky.
Kerlap-kerlip lampu menghiasi pelangi malam ibukota yang tak pernah terlelap.
Mobil-mobil berjejer rapi di pusat keramaian. Serba indah dan mewah. Namun
akankah itu abadi?. Di istana gubug terlelap dua bocah kecil. Berharap bunga-bunga
tidur menghampirinya dan menyambut hari esok dengan langkah ringan. Hingga tak
terasa beban yang ditanggung pundak. Tak ada keheningan, hanyalah kebisingan
musik penghantar tidur mereka.
###
“Aufa,
bagaimana menurutmu ulangan Matematika tadi sulit tidak?” tanya Ririn ketika
Aufa membaca buku di mejanya.
“Menurutku
sih sedikit sulit, tetapi aku yakin bisa mengerjakannya,” jawab Aufa dengan
mantap.
“Pasti
nanti kamu lagi yang akan mendapat nilai sempurna. Siapa sih yang tidak tahu
Aufa. Anak pandai yang selalu juara kelas,” kata Ririn sambil tersenyum melihat
Aufa yang tersipu malu.
“Sudahlah
Rin, tidak usah dibahas,” ucapm Aufa mengalihkan pembicaraan.
“Iya-iya.
Eh Fa, aku boleh minta tolong sama kamu nggak?”
“Boleh.
Memangnya mau minta tolong apa?”
“Ehm
mau nggak jadi guru privat Matematikaku?. Soalnya guru privat pilihan mamaku
nggak asyik. Kalau sama kamu kan
enak bisa main-main sekalian. Hehehe. Mau ya Fa,” kata Ririn merajuk.
“Gimana
ya Rin. Jangan jadi guru privatlah kita beljar kelompok aja. Aku belum
mempunyai cukup materi untuk menjadi guru privat,” jawab Aufa.
“Ok
Aufa temanku yang paling baik, bagaimana kalau kita mulai pulang sekolah
nanti?” tanya Ririn dengan gembira
“kalau
nanti aku tidak bias. Aku harus segera pulang ke rumah,“ jawab Aufa. Terbayang
wajah ibunya yang sudah tua. Kerutan-kerutan wajahnya yang semakin bertambah
dan batuk-batuk yang tak kunjung reda.
“Baiklah,
nggak apa-apa kok,” kata Ririn.
Meski kesenjangan status sosial
diantara Aufa dan Ririn sangat jauh, namun mereka tetap berteman dengan baik.
Ririn tahu bagaimana keadaan keluarga Aufa. Oleh karena itu, ia selalu memberi
motivasi kepada Aufa bahwa Aufa pasti bisa sekolah sampai tinggi dan meraih
segala cita-citanya. Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan.
Bel
akhir pelajaran berbunyi. Aufa segera membereskan buku-bukunya. Setelah berdoa
dan bersalaman dengan gurunya, ia cepat-cepat meninggalkan sekolahnya. Rata-rata
siswa yang bersekolah di SD Harapan Bangsa orang tuanya adalah golongan
menengah ke atas. Jadi banyak diantara teman-teman Aufa yang dijemput dengan
mobil. Namun, Aufa tidak memperdulikan itu. Ia tidak mau berkecil hati. Karena
segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Gadis
kecil kelas IV SD
itu lari dengan tergesa-gesa. Akhirnya ia sampai di depan sebuah rumah kecil
tetapi bersih. Di sana terlihat
banyak kerumunan orang. Entah apa yang terjadi. Hati Aufa dag dig dug.
Langkahnya terasa semakin berat.”Apa yang terjadi?” hati Aufa bertanya-tanya.
Aufa mulai mendekati rumahnya. Kemudian ia bertanya pada salah seorang diantara
tetangganya.
“Bulek
Inah apa yang terjadi di rumah saya?” tanya Aufa ingin tahu.
“Aufa
yang sabar ya nak. Mungkin Allah telah merencanakan sesuatu yang indah setelah
ini,” jawab Bulek Inah sambil mengelus rambut Aufa. Ia tidak tega melihat bocah
kecil yang begitu polo situ menanggung derita yang begitu berat.
“Maksud
Bulek?” Aufa kembali bertanya. Namun, belum sampai bulek Inah menjawab, Ia
segera menghambur masuk ke dalam rumah. Menerobos orang-orang yang bberdiri di sana .
Raganya lunglai setelah mengetahui apa yang terjadi. Ia segera memeluk ibunya
yang terbujur tak bernyawa. Di samping tubuh ibunya Rizky menangis
tersedu-sedu. Tangis Aufa meledak-ledak. Ia semakin erat memeluk ibunya dan
tidak mau berpisah dengan orang yang paling dicintai. Hatinya remuk
berkeping-keping. Linangan air mata basah kecil yang lugu itu membuat
orang-orang di sana iba. Tak ada
kerabat karena memang Aufa tidak mempunyai saudara yang dekat. Yang ada hanya
tetangganya yang menjadi saudaranya. Aufa terlalu kecil untuk merasakan semua
itu.
Awan
kelambu senja telah menghantarkan ibu Aufa menuju ke tempat yang tenang. Di
samping gundukan tanah, Aufa duduk memandangnya. Buih-buih air mata masih
mengalir dari pelupuk matanya. Bersama adiknya ia termenung menghadapi
kenyataan yang ada. Kini ia menjadi yatin piatu. Ayahnya telah meninggal karena
kecelakaan ketika ibunya mengandung Rizky. Jiwa Aufa seperti teriris-iris
merasakannya. Ia memeluk adiknya yang sedari tadi menagis. Mereka berlalu dari
selimut kesedihan.
###
Lampu
merah menyala. Kendaraan-kendaraan mewah itu berhenti. Bocah-bocah berlari
berhamburan menuju kendaraan-kendaraan itu. Mendekati mobil ke mobil dan
berebut masuk ke dalam bus. Mereka melantunkan syair-syair yang tidak jelas
sambil memainkan botol untuk mengiringinya. Menengadahkan tangan kepada yang
mereka anggap sebagai jutawan-jutawan negeri untuk mendapatkan belas kasihan
demi sesuap nasi. Meski anak-anak terlantar, mereka tidak mendapatkan
pemeliharaan yang sepantasnya. Badan yang bercucur peluh tak di hiraukan.
Harusnya mereka duduk di bangku yang menghatarkan mereka sebagai pemimpin
bangsa.
Seorang
gadis kecil berada di antara bocah-bocah itu. Tubuhnya terlihat kurus. Ia
berlari-lari tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tak ada jalan lain yang harus
ia lakukan. Setelah rumahnya di sita, untuk melunasi hutang, akhirnya Aufa
pindah di pemukiman kumuh dan putus sekolah karena tidak sanggup membayar uang
sekolah. Anak itu sangat pandai, namun kini menjadi peminta di lampu merah.
Ketika ia duduk menanti lampu merah, ia selalu teringat pesan ibunya. “Aufa,
selagi tangan kita masih mampu meraba dan kaki masih mampu berjalan maka
lakukanlah yang sanggup kamu lakukan. Kecuali membuka telapak tangan di depan
sesama manusia. Namun, bukalah telapak tanganmu kepadaNya yang memberi rizki.
Hati Aufa bergetar mengingatnya. Ia telah melanggar pesan ibunya. Mutiara itu
selalu mengalir menemani Aufa. Angannya menerawang ketika ia duduk
memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan. Nilai-nilai sempurna yang selalu
ia dapatkan apabila ulangan. Ririn temanya yang sangat baik. Aufa ingin sekali
bertemu denganya.
“Dapat
berapa kamu Fa hari ini?” tanya salah satu seorang temanya yang menyadarkaan
lamunan Aufa.
“Eh
kamu Lia. Hari ini aku dapat Rp.30.000, Alhamdulillah cukup untuk membeli
makan,” jawab Aufa sambil menghitung uangnya.
“Kamu
kenapa sih Fa aku lihat sering melamun?”
“Tidak
apa-apa kok Lia,” jawab Aufa singkat.
“Kalau
kamu ada masalah, cerita saja sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu kamu,”
kata Lia dengan lembut. Ia mengingatkan Aufa kembali kepada Ririn.
Pertemanannya tulus.
“Iya.
Makasih ya Lia. Kamu adalah teman yang baik,” ucap Aufa sambil tersenyum.
Kedua gadis
kecil itu memandang bangunan-bangunan bertingkat yang menjulang seakan menembus
langit. Apa yang sedang orang-orang lakukan di sana?. Maukah sejenak memikirkan
mereka?. Isilah saku-saku mereka demi negeri tercinta jangan hanya mengisi saku
sendiri.
To be continued............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar